Home » Archives for Juni 2013
Senin, 10 Juni 2013
pesawat konvensional
Sejarah BAPETEN
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) adalah Lembaga Pemerintah non Kementerian (LPNK) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. BAPETEN bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia melalui peraturan perundangan, perizinan dan inspeksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. BAPETEN didirikan pada tanggal 8 Mei 1998 dan mulai aktif berfungsi pada tanggal 4 Januari 1999.
1954 -1958
Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivite
Pembentukkannya dilatarbelakangi oleh adanya percobaan ledakan nuklir pada tahun 1950-an oleh beberapa negara terutama Amerika Serikat di beberapa kawasan Pasifik, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang jatuhnya zat radioaktif di wilayah Indonesia. Tugas dari panitia ini adlah untuk menyelidiki akibat percobaan ledakan nuklir, mengawasi penggunaan tenaga nuklir dan memberikan laporan tahunan kepada pemerintah.
1958 - 1964
Lembaga Tenaga Atom
Tugas Lembaga Tenaga Atom adalah untuk melaksanakan riset di bidang tenaga nuklir dan mengawasi penggunaan tenaga nuklir di Indonesia.
1964 - 1997
Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN)
Tugas BATAN adalah untuk melaksanakan riset tenaga nuklir dan mengawasi penggunaan tenaga nuklir di Indonesia. Pengawasan penggunaan energi nuklir tersebut dilaksanakan oleh unit yang berada di bawah BATAN, yang terakhir pada Biro Pengawasan Tenaga Atom (BPTA).
1997 - Sekarang
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN)
Perundang-undangan Nasional melalui UU No 10/1997 tentang Ketenaganukliran telah memberikan kewenangan bagi Badan Pengawasan Tenaga Nuklir (BAPETEN) untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap penggunaan tenaga nuklir, yang meliputi perizinan, inspeksi dan penegakan peraturan. UU Ketenaganukliran juga mensyaratkan pemisahan anatra badan pengawas, BAPETEN, dan badan peneliti, BATAN.
Sejarah BATAN
Kegiatan pengembangan dan pengaplikasian teknologi nuklir di Indonesia diawali dari pembentukan Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet tahun 1954. Panitia Negara tersebut mempunyai tugas melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya jatuhan radioaktif dari uji coba senjata nuklir di lautan Pasifik.
Dengan memperhatikan perkembangan pendayagunaan dan pemanfaatan tenaga atom bagi kesejahteraan masyarakat, maka melalui Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1958, pada tanggal 5 Desember 1958 dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) berdasarkan UU No. 31 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Selanjutnya setiap tanggal 5 Desember yang merupakan tanggal bersejarah bagi perkembangan teknologi nuklir di Indonesia dan ditetapkan sebagai hari jadi BATAN.
Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih meningkatkan penguasaan di bidang iptek nuklir, pada tahun 1965 diresmikan pengoperasian reaktor atom pertama (Triga Mark II) di Bandung. Kemudian berturut-turut, dibangun pula beberapa fasilitas litbangyasa yang tersebar di berbagai pusat penelitian, antara lain Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat, Jakarta (1966), Pusat Penelitian Tenaga Atom GAMA, Yogyakarta (1967), dan Reaktor Serba Guna 30 MW (1987) disertai fasilitas penunjangnya, seperti: fabrikasi dan penelitian bahan bakar, uji keselamatan reaktor, pengelolaan limbah radioaktifdanfasilitas nuklir lainnya.
Sementara itu dengan perubahan paradigma pada tahun 1997 ditetapkan UU No. 10 tentang ketenaganukliran yang diantaranya mengatur pemisahan unsur pelaksana kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir(BATAN)dengan unsur pengawas tenaga nuklir (BAPETEN).
1954 Pembentukan Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet
1958 Pembentukan Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (PP No.65 Tahun 1958)
1964 Penetapan UU No.31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom 1964
1965 Peresmian Pusat Reaktor Atom Bandung dan Pengoperasian Reaktor Triga Mark II berdaya 250 kW oleh Presiden RI serta Perubahan nama Lembaga Tenaga Atom menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN)
1966 Pembentukan Pusat Penelitian Tenaga Atom (PPTA) Pasar Jumat, Jakarta 1966
1967 Pembentukan Pusat Penelitian GAMA Yogyakarta
1968 Peresmian penggunaan Iradiator Gamma Cell Co-60 PPTA Pasar Jumat oleh Presiden RI
1970 Peresmian Klinik Kedokteran Nuklir di PPTA Bandung
1971 Reaktor Triga Mark II Bandung mencapai kritis pada daya 1 MW
1972 Pembentukan Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2-PLTN)
1979 Peresmian mulai beroperasinya Reaktor Kartini dengan daya 100 kW di PPTA Yogyakarta oleh Presiden RI
1984 Pengoperasian Mesin Berkas Elektron 300 keV di PPTA Pasar Jumat oleh Presiden RI
1987 Peresmian pengoperasian Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy dengan daya 30 MW
1988 Peresmian pengoperasian Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif di PPTA Serpong oleh Presiden RI
1989 Peresmian pengoperasian Instalasi Radioisotop dan Radiofarmaka, Instalasi Elemen Bakar Eksperimental di PPTA Serpong oleh Presiden RI.
1990 Peresmian Instalasi Radiometalurgi, Instalasi Keselamatan dan Keteknikan Nuklir, Laboratorium Mekano Elektronik Nuklir di PPTA Serpong - Tangerang oleh Presiden RI
1992 Peresmian pengoperasian Instalasi Spektrometri Neutron, Instalasi Penyimpanan Elemen Bakar Bekas dan Pemindahan Bahan Terkontaminasi di PPTA Serpong - Tangerang oleh Presiden RI
1994 Peresmian pengoperasian Mesin Berkas Elektron 2 MeV di PPTA Pasar Jumat oleh Presiden RI
1995 Dalam memperingati HUT RI ke 50, BATAN berhasil melaksanakan "Whole Indonesian Core" untuk Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy.
1996 Pembentukan PT Batan Teknologi (persero), Divisi : Produksi Elemen Bakar Reaktor, Produksi Radioisotop, Produksi Instrumentasi dan Rekayasa Nuklir
1997 Penetapan UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran yang memisahkan Badan Pelaksana dan Badan Pengawas penggunaan tenaga nuklir
1998 Perubahan Badan Tenaga Atom Nasional menjadi Badan Tenaga Nuklir Nasional dengan Keppres No.197 Tahun 1998
2000 Peresmian peningkatan daya Reaktor Triga 2 MWdi Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Bandung olehWakil Presiden RI
2001 Peningkatan status Pendidikan Ahli Teknik Nuklir (PATN) menjadi Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir
2003 Penyerahan hasil " " kepada Presiden RI; Pencapaian 10% jumlah varietas unggul tanaman pangan nasional; Pengoperasian Mesin Berkas Elektron 350 keV, 10 mA di PPTN Yogyakarta:Pengoperasian Pusat Pelatihan dan Diseminasi Teknologi Peternakan - Pertanian Terpadu di Kalsel
2004 Pencapaian target 10% varietas unggul tanaman pangan nasional menggunakan teknik nuklir
2005 Terwujudnya perpustakaan digital di bidang nuklir
2006 Pencapaian 1 juta hektar penyebaran varietas padi unggul BATAN di seluruh Indonesia
2008 50 tahun BATAN Berkarya
Sumber : http://www.batan.go.id/sejarah.php
Surveimeter
Surveimeter harus dapat memberikan informasi laju dosis radiasi pada suatu area secara langsung. Jadi, seorang pekerja radiasi dapat memperkirakan jumlah radiasi yang akan diterimanya bila akan bekerja di suatu lokasi selama waktu tertentu. Dengan informasi yang ditunjukkan surveimeter ini, setiap pekerja dapat menjaga diri agar tidak terkena paparan radiasi yang melebihi batas ambang yang diizinkan.
Sebagaimana fungsinya, suatu survaimeter harus bersifat portable meskipun tidak perlu sekecil sebuah dosimeter personal. Konstruksi survaimeter terdiri atas detektor dan peralatan penunjang seperti terlihat gambar berikut. Cara pengukuran yang diterapkan adalah cara arus (current mode) sehingga nilai yang ditampilkan merupakan nilai intensitas radiasi. Secara elektronik, nilai intensitas tersebut dikonversikan menjadi skala dosis, misalnya dengan satuan roentgent/jam.
Semua jenis detektor yang dapat memberikan hasil secara langsung, seperti detektor isian gas, sintilasi dan semikonduktor, dapat digunakan. Dari segi praktis dan ekonomis, detektor isian gas Geiger Muller yang paling banyak digunakan. Detektor sintilasi juga banyak digunakan, khususnya NaI(Tl) untuk radiasi gamma, karena mempunyai efisiensi yang tinggi.
Jenis Surveimeter
Terdapat beberapa jenis survaimeter yang digunakan untuk jenis radiasi yang sesuai sebagai berikut.
Survaimeter Gamma
Survaimeter Beta dan Gamma
Survaimeter Alpha
Survaimeter neutron
Survaimeter Multi-Guna
Survaimeter gamma merupakan survaimeter yang sering digunakan dan pada prinsipnya dapat digunakan untuk mengukur radiasi sinar X. Detektor yang sering digunakan adalah detektor isian gas proporsional, GM atau detektor sintilasi NaI(Tl).
Berbeda dengan survaimeter gamma biasa, survaimeter beta dan gamma mempunyai detektor yang terletak di luar badan survaimeter dan mempunyai “jendela” yang dapat dibuka atau ditutup. Bila digunakan untuk mengukur radiasi beta, maka jendelanya harus dibuka. Sebaliknya untuk radiasi gamma, jendelanya ditutup.Detektor yang sering digunakan adalah detektor isian gas proporsional atau GM.
Survaimeter alpha mempunyai detektor yang terletak di luar badan survaimeter dan terdapat satu permukaan detektor yang terbuat dari lapisan film yang sangat tipis, biasanya terbuat dari berrilium, sehingga mudah sobek bila tersentuh atau tergores benda tajam. Detektor yang digunakan adalah detektor isian gas proporsional atau detektor sintilasi ZnS(Ag).
Survaimeter neutron biasanya menggunakan detektor proporsional yang diisi dengan gas BF3 atau gas Helium. Karena yang dapat berinteraksi dengan unsur Boron atau Helium adalah neutron termal saja, maka survaimeter neutron biasanya dilengkapi dengan moderator yang terbuat dari parafin atau polietilen yang berfungsi untuk menurunkan energi neutron cepat menjadi neutron termal. Moderator ini hanya digunakan bila radiasi neutron yang akan diukur adalah neutron cepat.
Pada saat ini sudah mulai dipasarkan jenis survaimeter yang serbaguna (multipurpose) karena selain dapat mengukur intensitas radiasi secara langsung, sebagaimana survaimeter biasa, juga dapat mengukur intensitas radiasi selama selang waktu tertentu, dapat diatur, seperti sistem pencacah dan bahkan bisa menghasilkan spektrum distribusi energi radiasi seperti sistem spektroskopi.
Prosedur Pemakaian Surveimeter
Tiga langkah penting yang perlu diperhatikan sebelum menggunakan survaimeteradalah:
memeriksa batere
memeriksa sertifikat kalibrasi
mempelajari pengoperasian dan pembacaan
Periksa batere: Hal ini dilakukan untuk menguji kondisi catu daya tegangan tinggi detektor. Bila tegangan tinggi detektor tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, maka detektor tidak peka atau tidak sensitif terhadap radiasi yang mengenainya, akibatnya survaimeter akan menunjukkan nilai yang salah.
Periksa sertifikat kalibrasi: Pemeriksaan sertifikat kalibrasi harus memperhatikan faktor kalibrasi alat dan memeriksa tanggal validasi sertifikat. Faktor kalibrasi merupakan suatu parameter yang membandingkan nilai yang ditunjukkan oleh alat ukur dan nilai dosis sebenarnya.
Dsebenarnya = Dterukur x Faktor Kalibrasi
Bila sertifikat kalibrasinya sudah melewati batas waktunya, maka survaimeter tersebut harus dikalibrasi ulang sebelum dapat digunakan lagi.
Pelajari pengoperasian dan pembacaan: Langkah ini perlu dilakukan, khususnya bila akan menggunakan survaimeter “baru”. Setiap survaimeter mempunyai tombol-tombol dan saklar-saklar yang berbeda-beda, biasanya terdapat beberapa faktor pengalian misalnya x1; x10; x100 dan sebagainya. Sedang display-nya juga berbeda-beda, ada yang berskala rontgent / jam ; rad / jam ; Sievert /jam atau mSievert / jam atau bahkan masih dalam cpm (counts per min)
Sumber : http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/Proteksi_02.htm
Densitometer
Densitometer mengukur cahaya yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang disinari oleh sumber cahaya. Pengukuran dari refleksi ini diubah menjadi skala logaritma dengan rumus D = -log R (D = density, R = Pantulan)
Densitometer tidak dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi sampel seperti dalam kolorimetri tapi densitometer digunakan untuk mengukur kerapatan cahayanya.
Berikut ini adalah mekanisme kerja densitometer secara sistematis.
Sumber cahaya menyinari sampel secara tegak lurus (sudut 90ᴼ) namun sensor dipasang pada sudut 45ᴼ untuk menghindari efek glossy sehingga yang tertangkap oleh sensor adalah benar-benar cahaya yang direfleksikan oleh permukaan sampel.
Sensor menangkap cahaya yang direfleksikan oleh permukaan sampel, kemudian diubah menjadi skala logaritma dengan rumus tertentu sehingga didapatkan hasil kerapatan cahaya dari sampel. Hasil dari perhitungan akan ditampilkan pada display.
Densitometer adalah alat penelitian yang biasa digunakan untuk mengukur kerapatan cahaya suatu objek namun dalam dunia fotografi densitometer juga digunakan untuk menilai kualitas suatu gambar atau alat pencetak.
Secara garis besar ada dua tipe densitometer, yaitu:
a. Densitometer pantulan/refleksi
Densitometer ini digunakan untuk mengukur kerapatan cahaya pada sampel yang tidak permukaan yang tidak tembus cahaya/transparan.
densitometer pantulan
b. Densitometer transmisi
Densitometer yang digunakan untuk mengukur kerapatan cahaya pada sampel yang transparan, misalnya hasil negative foto.
densitometer transmisi
Dalam dunia kesehatan, densitometer digunakan dalam mendeteksi keadaan osteophorosis. Densitometer akan mengukur kerapatan tulang. Tulang yang rapuh kerapatannya akan berkurang. Inilah yang dinamakan osteophorosis.
Bone densitometer
Dalam kimia sendiri, densitometer merupakan salah satu komponen pendukung pada metode kromatografi, yaitu kromatografi lempeng tipis dan kromatografi kertas. Densitometer akan mengukur kerapatan titik pada daerah rambatan. Adanya densitometer dapat menunjang dugaan komposisi dari sampel.
Sumber : http://instrumendua.blogspot.com/2012/12/densitometer.html
Minggu, 02 Juni 2013
Mengurangi Radiasi Sinar x
Jakarta, Saat berobat ke dokter, pada kasus-kasus tertentu pasien diminta untuk melakukan foto sinar X seperti rontgen untuk gambaran kondisi tubuh yang lebih jelas. Paparan sinar X dalam jumlah tertentu memberikan efek ke tubuh. Tapi ada tips meminimalkan paparan sinar X saat berobat.
Sinar-X seringkali digunakan untuk pemeriksaan penunjang dalam dunia medis. Sinar-X sering digunakan untuk menghasilkan gambaran 2 dimensi dari jaringan keras tubuh (tulang dan gigi) yang diperlukan untuk pemeriksaan.
Sampai sekarang masih diperdebatkan mengenai fungsi dan kerugiannya. Namun, meskipun demikian sampai saat ini sinar-X masih sangat sering digunakan dalam dunia medis.
Mengenai keamanan penggunaan sinar-X, seperti dikutip dari Epharmapedia dan Environmental Health & Safety Center Radiation Safety Division NC State University Rabu (27/7/2011) dikenal istilah ALARA.
ALARA (As Low As Reasonably Achievable) merupakan prinsip keselamatan radiasi dengan meminimalkan dosis radiasi dan pelepasan bahan radioaktif dengan menggunakan semua metode yang wajar.
Terdapat 3 prinsip untuk memenuhi dosis sinar-X sesuai ALARA, yaitu:
1. Waktu
Meminimalkan waktu paparan langsung untuk mengurangi dosis radiasi.
2. Jarak
Membuat jarak dua kali lipat antara tubuh dengan sumber radiasi akan mengurangi paparan radiasi.
3. Penggunaan perisai pelindung
Penggunaan perisai pelindung yang mengandung bahan penyerap seperti kaca untuk partikel beta merupakan cara yang efektif untuk mengurangi paparan radiasi.
Sedangkan US Food and Drug Administration (FDA) membuat pedoman untuk meminimalkan paparan radiasi yang tidak perlu dari sinar-X:
- Mempertimbangkan keperluan penggunaan sinar-X
- Jangan menolak penggunaan sinar-X jika secara medis memang diperlukan.
- Menolak pengguaan sinar-X jika secara medis memang tidak terlalu diperlukan
- Untuk wanita hamil, hindari atau tunda penggunaan sinar-X
- Menggunakan perisai pelindung selama dilakukan prosedur penggunaan sinar-X
- Mempertimbangkan penggunaan sinar-X yang memungkinkan paparan radiasi lebih rendah
- Simpanlah hasil pemeriksaan sinar-X (foto rontgen) untuk mengetahui seberapa sering telah terpapar sinar-X, dan dapat juga berguna bagi dokter untuk memantau perkembangan suatu penyakit atau kelainan.
Dosis Ambang Sinar - x
Satuan dasar dari jaringan biologis adalah sel. Sel mempunyai inti sel yang merupakan pusat pengontrol sel. Sel terdiri dari 80% air dan 20% senyawa biologis kompleks. Jika radiasi pengion menembus jaringan, maka dapat mengakibatkan terjadinya ionisasi dan menghasilkan radikal bebas, misalnya radikal bebas hidroksil (OH), yang terdiri dari atom oksigen dan atom hidrogen. Secara kimia, radikal bebas sangat reaktif dan dapat mengubah molekul-molekul penting dalam sel.
DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan salah satu molekul yang terdapat di inti sel, berperan untuk mengontrol struktur dan fungsi sel serta menggandakan dirinya sendiri.
Setidaknya ada dua cara bagaimana radiasi dapat mengakibatkan kerusakan pada sel. Pertama, radiasi dapat mengionisasi langsung molekul DNA sehingga terjadi perubahan kimiawi pada DNA. Kedua, perubahan kimiawi pada DNA terjadi secara tidak langsung, yaitu jika DNA berinteraksi dengan radikal bebas hidroksil. Terjadinya perubahan kimiawi pada DNA tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menyebabkan efek biologis yang merugikan, misalnya timbulnya kanker maupun kelainan genetik.
Pada dosis rendah, misalnya dosis radiasi latar belakang yang kita terima sehari-hari, sel dapat memulihkan dirinya sendiri dengan sangat cepat. Pada dosis lebih tinggi (hingga 1 Sv), ada kemungkinan sel tidak dapat memulihkan dirinya sendiri, sehingga sel akan mengalami kerusakan permanen atau mati. Sel yang mati relatif tidak berbahaya karena akan diganti dengan sel baru. Sel yang mengalami kerusakan permanen dapat menghasilkan sel yang abnormal ketika sel yang rusak tersebut membelah diri. Sel yang abnormal inilah yang akan meningkatkan risiko tejadinya kanker pada manusia akibat radiasi.
Efek radiasi terhadap tubuh manusia bergantung pada seberapa banyak dosis yang diberikan, dan bergantung pula pada lajunya; apakah diberikan secara akut (dalam jangka waktu seketika) atau secara gradual (sedikit demi sedikit).
Sebagai contoh, radiasi gamma dengan dosis 2 Sv (200 rem) yang diberikan pada seluruh tubuh dalam waktu 30 menit akan menyebabkan pusing dan muntah-muntah pada beberapa persen manusia yang terkena dosis tersebut, dan kemungkinan satu persen akan meninggal dalam waktu satu atau dua bulan kemudian. Untuk dosis yang sama tetapi diberikan dalam rentang waktu satu bulan atau lebih, efek sindroma radiasi akut tersebut tidak terjadi.
Contoh lain, dosis radiasi akut sebesar 3,5 – 4 Sv (350 – 400 rem) yang diberikan seluruh tubuh akan menyebabkan kematian sekitar 50% dari mereka yang mendapat radiasi dalam waktu 30 hari kemudian. Sebaliknya, dosis yang sama yang diberikan secara merata dalam waktu satu tahun tidak menimbulkan akibat yang sama.
Selain bergantung pada jumlah dan laju dosis, setiap organ tubuh mempunyai kepekaan yang berlainan terhadap radiasi, sehingga efek yang ditimbulkan radiasi juga akan berbeda.
Sebagai contoh, dosis terserap 5 Gy atau lebih yang diberikan secara sekaligus pada seluruh tubuh dan tidak langsung mendapat perawatan medis, akan dapat mengakibatkan kematian karena terjadinya kerusakan sumsum tulang belakang serta saluran pernapasan dan pencernaan. Jika segera dilakukan perawatan medis, jiwa seseorang yang mendapat dosis terserap 5 Gy tersebut mungkin dapat diselamatkan. Namun, jika dosis terserapnya mencapai 50 Gy, jiwanya tidak mungkin diselamatkan lagi, walaupun ia segera mendapatkan perawatan medis.
Jika dosis terserap 5 Gy tersebut diberikan secara sekaligus ke organ tertentu saja (tidak ke seluruh tubuh), kemungkinan besar tidak akan berakibat fatal. Sebagai contoh, dosis terserap 5 Gy yang diberikan sekaligus ke kulit akan menyebabkan eritema. Contoh lain, dosis yang sama jika diberikan ke organ reproduksi akan menyebabkan mandul.
Efek radiasi yang langsung terlihat ini disebut Efek Deterministik. Efek ini hanya muncul jika dosis radiasinya melebihi suatu batas tertentu, disebut Dosis Ambang.
Efek deterministik bisa juga terjadi dalam jangka waktu yang agak lama setelah terkena radiasi, dan umumnya tidak berakibat fatal. Sebagai contoh, katarak dan kerusakan kulit dapat terjadi dalam waktu beberapa minggu setelah terkena dosis radiasi 5 Sv atau lebih.
Jika dosisnya rendah, atau diberikan dalam jangka waktu yang lama (tidak sekaligus), kemungkinan besar sel-sel tubuh akan memperbaiki dirinya sendiri sehingga tubuh tidak menampakkan tanda-tanda bekas terkena radiasi. Namun demikian, bisa saja sel-sel tubuh sebenarnya mengalami kerusakan, dan akibat kerusakan tersebut baru muncul dalam jangka waktu yang sangat lama (mungkin berpuluh-puluh tahun kemudian), dikenal juga sebagai periode laten. Efek radiasi yang tidak langsung terlihat ini disebut Efek Stokastik.
Efek stokastik ini tidak dapat dipastikan akan terjadi, namun probabilitas terjadinya akan semakin besar apabila dosisnya juga bertambah besar dan dosisnya diberikan dalam jangka waktu seketika. Efek stokastik ini mengacu pada penundaan antara saat pemaparan radiasi dan saat penampakan efek yang terjadi akibat pemaparan tersebut. Kecuali untuk leukimia yang dapat berkembang dalam waktu 2 tahun, efek pemaparan radiasi tidak memperlihatkan efek apapun dalam waktu 20 tahun atau lebih.
Salah satu penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah kanker. Penyebab sebenarnya dari penyakit kanker tetap tidak diketahui. Selain dapat disebabkan oleh radiasi pengion, kanker dapat pula disebabkan oleh zat-zat lain, disebut zat karsinogen, misalnya asap rokok, asbes dan ultraviolet. Dalam kurun waktu sebelum periode laten berakhir, korban dapat meninggal karena penyebab lain. Karena lamanya periode laten ini, seseorang yang masih hidup bertahun-tahun setelah menerima paparan radiasi ada kemungkinan menerima tambahan zat-zat karsinogen dalam kurun waktu tersebut. Oleh karena itu, jika suatu saat timbul kanker, maka kanker tersebut dapat disebabkan oleh zat-zat karsinogen, bukan hanya disebabkan oleh radiasi.
Sumber : http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/proteksiradiasi/pengenalan_radiasi/glosarium/089.htm